Rambutnya keriting, perawakannya
tinggi besar, hidungnya mancung khas peranakan arab. Pembawaannya murah senyum.
Suatu hari, bocah ini
merengek minta sekolah kepada ibunya karena sering melihat anak-anak yang berangkat
sekolah yang melintas di depan rumahnya. Sang ibu bimbang. Anak itu belum cukup
umur. Sebagai dosen ia tahu pentingnya pendidikan, namun ia tak ingin anaknya
tercerabut dari dunia permainan. Ia mendiskusikannya dengan sang suami. Berkonsultasi
ke psikolog juga dilakukan. Keputusannya, dia sekolah. “Tapi kalau mau saja. Kalau
sedang tidak mau jangan dipaksa.” Kata si psikolog (hal. 10).
Kelak, anak kecil yang telah membuat
bimbang orang tuanya dan selalu dahaga akan pengetahuan ini membuat geger dunia
pendidikan di seantero nusantara. Kiprahnya membuat dunia pendidikan pompa
jantung. Ada yang tersenyum optimis. Ada yang sinis. Ada yang menghujat. Tak sedikit
yang mencibir. Banyak pula yang mengkritik. Anda tahu kenapa? Semua itu karena
dia menelurkan sebuah keputusan yang saat ini sedang hangat diperbincangkan. Sebuah
keputusan yang mengundang kontroversi, diskusi, polemik dan tarik ulur
pendapat, yakni keputusan soal penghentian (sementara) Kurikulum 2013. Siapa gerangan pria ini?