15 November 2015

Siapkah Menjadi Orangtua Bagi Anak Anda?

munif chatib tokoh pendidikan
Buku berjudul Orangtuanya Manusia ini menemukan momentumnya bila dikaitkan dengan Joshua Wong. Pemuda 17 tahun asal Hongkong ini memimpin dan menggerakkan para demonstran yang mengusung demokrasi di Hongkong. Bahkan dia pernah menggerakkan massa pada usia 15 tahun melalui sebuah gerakan menentang sistem pendidikan pemerintah yang dia namai Scholarism. Artinya, dia masih seusia SMP. Hebat. 

Di saat pemuda seusianya memikirkan di mana tempat nongkrong, apa acara keluar besok, PR apa yang belum selesai, dia justru menjadi penggerak perubahan level negara yang menurut versi koran Jawa Pos membuat pemerintah Beijing pusing. Bayangkan, negara dibuat pusing oleh anak "kemarin". Di Indonesia, sosok Wong mengingatkan pada penulis buku 'Catatan Seorang Demonstran', Soe Hok Gie. Atau tokoh pendobrak Tan Malaka.

Sosok kedua adalah peraih Nobel Perdamaian asal Pakistan yang juga masih sangat belia bernama Malala Yousafzai. Dia dinobatkan menyabet penghargaan bergengsi kelas dunia atas perjuangannya membela hak anak-anak dan kaum muda dalam memperoleh akses pendidikan. Bahkan, dia harus tertembus peluru kaum Taliban, Pakistan, saat sedang mengajar. Beruntung nyawanya terselamatkan sehingga dia bisa menunjukkan kiprahnya pada jutaan mata dunia lewat sebuah penghargaan prestisius ini.

Terlepas dari kiprah dua sosok hebat di atas, ada satu pertanyaan mengusik di benak saya. Bagaimana model pendidikan dan penggemblengan mereka sehingga sanggup mengejutkan dunia justru di usia yang sangat belia? Inilah yang menjadi saya penasaran. Namun, keterbatasan informasi mengenai mereka membawa saya kepada sebuah kesimpulan awal dan bersifat umum, yakni orang tua. Ya, dua sosok di atas tidak lahir dari batu dan bukan dibesarkan di hutan tentunya. Di balik gerakan progresif mereka pasti dua sosok pengasuh merekalah yang sangat berperan, entah orang tua dalam arti genetik maupun orang tua (baca: pengasuh) yang selalu dekat dengan kehidupan sehari-hari dua tokoh muda ini.Tentu, tidak mudah mencetak manusia unggul seperti mereka. Ada rahasia dan ilmunya. Yang jelas orang tua mereka adalah sosok Orangtuanya Manusia, senafas dengan judul buku ini. Bagaimana dengan sosok orang tua Indonesia? Berikut gambaran yang mungkin sering terjadi:

"Adik, sudah jangan ke situ nanti rusak. Awas lo, ya."
"Heh, diam dong. Orangtua ngomong kok menyela terus."
"Pokoknya, nanti harus belajar. Mama yang ngajarin."
"Ayah capek. Sana ke mamamu."

Tinggalkan kalimat di atas. Pindah ke kutipan dua paragraf berikut yang ditulis oleh Ayah Edy, penggagas Gerakan Membangun Indonesia yang Kuat dari Keluarga, di bagian testimoni buku ‘montok’ berjudul “Orangtuanya Manusia” karya Munif Chatib ini.

“Mau jadi dokter, ada sekolahnya; mau jadi pilot juga ada sekolahnya; tapi jadi orangtua, belum ada sekolahnya. Bayangkan jika seorang pilot tanpa sekolah lalu nekad menerbangkan pesawat, apa kira-kira yang akan terjadi? Bagaimana dengan kita? Yang hanya bermodalkan nekad menjadi orangtua bagi anak-anak yang notabenenya adalah mahakarya dari Tuhan Yang Maha Sempurna?

Ayo, segera belajar jadi orangtuanya manusia! Melalui buku yang ditulis oleh Pak Munif Chatib ini, semoga kita bisa lulus menjadi Orangtuanya Manusia, dan bukan hanya sebagai orang tua bonek yang mendidik anak-anaknya hanya bermodalkan nekad belaka. Selamat belajar menjadi Orangtuanya Manusia! Semoga berhasil dan lulus dengan nilai gemilang!”

***

Membangun insan yang berkualitas memang dimulai dari keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak-anak. Dari institusi kecil namun multi peran ini akan lahir generasi-generasi unggul di masa depan. Begitu pentingnya bangunan keluarga hingga menjadi tolok ukur maju tidaknya masyarakat sebuah negara dan sampai-sampai diperingati hari keluarga sedunia. Kuat tidaknya sebuah negara juga dilihat dari pertahanan gugus-gugus kecil ini. Bila pertahanan terakhir negara ini sudah jebol maka tamatlah. Dan, dari keluarga pula dinamika sejarah berlangsungnya berbagai peradaban umat manusia dari sejak zaman nabi Adam hingga saat ini masih terjadi.

Laporan dari World Family Organization, sebuah organisasi yang memiliki concern khusus seputar keluarga di seluruh dunia, yang dikutip Federasi Internasional Pengembangan Keluarga (IFFD) menyatakan bahwa kestabilan sebuah keluarga memiliki dampak positif bagi perkembangan dan kemajuan anak secara mental dan kesehatan. Mereka, masih dalam laporan itu, tidak sekedar butuh materi, namun juga pemenuhan emosionalnya. Dalam Kongres di Amerika pun, sebagaimana dikatakan oleh Bronfenbenner dalam laporan tersebut, sangat mengakui kekuatan dari keluarga dan merupakan elemen terpenting. Seperti melalui pernyataan berikut ini:

“The family is the most powerful, the most humane and, by far,  the most economical system known for building competence and character.”
(Keluarga adalah sistem paling ampuh namun ekonomis dan humanis dalam membangun kompetensi dan ketangguhan karakter) 

Bahkan, adalah sebuah kemandegan budaya suatu masyarakat jika tidak ada perhatian maupun kebijakan yang berpihak pada keluarga. Syukurlah, di Indonesia sudah ada perhatian khusus pemerintah melalui program keluarga berencana dan pelembagaan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional). Di Finlandia yang sistem pendidikannya merupakan terbaik di dunia, memandang bahwa keluarga merupakan elemen utama. Interaksi antar anggota di dalamnya memiliki porsi yang mendahului pentingnya sekolah dan dianggap sebagai sebuah sekolah pertama untuk anak-anak. Di dunia perfilman tak kurang tema yang diangkat berlatar belakang dan mengambil setting keluarga. Dengan kata lain, kekuatan sebuah tatanan sosial masyarakat berada pada peran keluarga sebagai bagian terkecilnya.

Pepatah mengatakan “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Dari rahim keluargalah akan lahir anak-anak yang menjadi jelmaan dari dua sosok penentu kebijakan, yakni kedua orangtua. Akan seperti apa dan bagaimana anak-anak suci itu bergantung pada dua sosok itu, sebagaimana diisyaratkan dalam sebuah hadits, ”Setiap anak yang lahir dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”

Jalan panjang lahirnya insan suci ke dunia yang bernama bayi tidak mudah. Dari saat mulai berbentuk miliaran sel sperma yang berlomba-lomba meraih indung telur sampai akhirnya menjadi seonggok janin utuh adalah sebuah proses yang rumit (QS. Al- Mu'minun: 12-16). Waktu rata-rata sembilan bulan yang dilalui merupakan pertanda bahwa rangkaian proses penciptaanya adalah sebuah desain sempurna dari Sang Mahakarya. Lalu, apa iya ketika mereka sudah tersenyum ke dunia kemudian akan dirawat dan dibesarkan dengan hanya bermodalkan satu kata: nekad? Membentuk patung saja perlu ilmu dan pengetahuan seni mematung, apalagi ini mendesain benda hidup dan selalu dinamis. Terlalu naif, kedengarannya. Dan bila hanya demikian, maka tak berlebihan kalau dikatakan bahwa orangtua telah dan sedang melakukan 'dosa genetik' terhadap anak-anak mereka.

Di dalam Alquran (QS. Al-Israa’: 23) posisi dan peran orangtua bagi anak-anaknya menduduki tempat yang sangat terhormat tanpa tapi, sehingga bantahan kepada mereka adalah sebentuk kedurhakaan dan merupakan catatan rapor merah dalam buku amal. Tentu, siapa pun tahu akan hal ini. Namun di sisi lain, menjadi orangtua yang seperti diajarkan rasul maupun yang sudah termaktub dalam Al-quran tidak semudah mengedipkan mata. Bahkan, diakui atau tidak, tidak sedikit orangtua yang tidak mengetahui dan memahami bagaimana memperlakukan anak. Masih banyak pula sosok orangtua yang sadar atau tidak sedang terjebak dalam kubangan dosa genetik seperti di atas. Jika demikian maka harapan mencetak generasi unggul bisa jadi hanyalah isapan jempol belaka, jauh api dari panggang.

Buku ini dapat dijadikan jawaban dari kerisauan di atas dan menjadi pengisi kealpaan orangtua dalam pengetahuan ‘mematung’ dan ‘memahat’ buah cinta mereka. Banyak “petunjuk arah” di dalamnya yang dapat dijadikan petunjuk jalan (praktis) agar tidak keliru jalan dan hanya berputar-putar tak jelas yang akhirnya mogok (baca: bingung menyetir anak).

Salah satu poin sangat penting yang tidak boleh dilewatkan adalah sebuah tahapan yang dalam ilmu kedokteran dikenal sebagai periode kritisPeriode ini adalah masa-masa kritis dalam tumbuh kembang anak terutama secara fisiologis (organ tubuh) seperti jantung, hati, ginjal, paru-paru, dan organ-organ vital lainnya, dari sejak terbentuknya janin di dalam kandungan hingga mencapai usia 1000 hari pertama. Artinya, jika dikonversikan ke dalam tahun maka periode ini adalah masa 0 – 2 tahun, di mana nol tahun dihitung sejak terbentuknya embrio di dalam rahim sang ibu hamil. Di dalam buku ini pun dikatakan bahwa nabi membagi periode tumbuh kembang seorang manusia itu ke dalam tiga tahap: tujuh tahun pertama, kedua dan ketiga, di mana tujuh tahun pertamalah yang sangat besar pengaruhnya terhadap tahap tujuh tahun yang kedua dan seterusnnya.

Pada periode kritis ini pula terjadi proses penting yang tidak akan pernah terulang kembali sepanjang pertumbuhan manusia. Misalnya, pertumbuhan otak. Menurut dokter spesialis anak Prof. Dr. Darto Saharso SpA(K), pada periode ini terjadi pertumbuhan otak yang sangat pesat. Setelah usia dua tahun maka berat otaknya telah mencapai 80 persen dari berat otak orang dewasa, sehingga penting memberikan nutrisi lengkap, stimulasi positif dan ASI yang cukup sebagai nutrisinya pada periode ini (Jawa Pos, 7/9/2014). Hal demikian sejalan dengan yang digariskan Al-quran Surat Al-Baqarah: 233, bahwa:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan...”


Istilah lain dalam tumbuh kembang otak adalah ‘golden age’. Masa ini adalah hangat-hangatnya otak dalam perkembangannya, yakni dalam rentang waktu usia 0 – 8 tahun . Pembangunan fondasi yang kuat mesti berada pada usia emas ini. Ibarat membangun rumah, maka semestinya dibangun dengan konstruksi besi yang kukuh dan kuat, menggunakan semen berkualitas, serta kerikil dan pasir terbaik. Kegagalan membangun fondasi kuat dan memberikan stimulus yang tidak tepat pada usia ini akan berakibat pada tahapan perkembangan selanjutnya (hal. 14).

Kelebihan buku ini tidak melulu membahas secara teoretis, melainkan ada kisah-kisah nyata yang dialami penulisnya selama menjadi konsultan maupun dari kejadian sehari-hari yang seolah remeh-temeh. Seperti, ketika dia diajak seorang sahabatnya untuk memecahkan masalah anak-anaknya, dalam kutipan berikut:

“Munif, ayo, ke rumah, bantu aku menemukan kemampuan anak-anakku yang super nakal. Tiap hari aku dan istri harus adu otot dan kesabaran menghadapi mereka. Mau mandi berantem, mau berangkat sekolah berantem, pulang sekolah berantem. Mau pecah rasanya kepala ini. Aku sudah berusaha menemukan kelebihan mereka, seperti yang kau sarankan, tapi hingga hari ini tak menemukannya...”

Atau kisah seorang siswa cerdas kelas tiga SD yang bernama Amin, yang ‘dibunuh’ mentalnya justru oleh orangtuanya sendiri, sebagai berikut:

“...Amin, coba ceritakan kebiasaan ibu dan ayahmu.” Sang Ibu langsung menyahut, “Ya sudah dengan berbagai cara, Pak munif. Tapi, hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Padahal saya sudah sabar, satu per satu pelajarannya saya terangkan dengan pelan-pelan. Tetap saja tulalit.”
“Bohong, Pak Munif! Mamaku marah-marah terus kalau ngajari aku. Persis kayak kucing garong,” jawab Amin spontan tidak terima dengan perkataan orangtuanya.
“Apa? Mamamu kucing garong? Kamu yang bodoh, tidak seperti kakakmu.” Balas mama Amin.

Bayangkan, orang yang paling dekat dengan buah hatinya saja sudah ‘memenggal’ mentalnya. Cerita-cerita yang tersaji di dalamnya memang bersifat kasuistik, terjadi pada orang, saat dan tempat tertentu. Namun, tidak jarang kejadiannya justru dialami banyak keluarga dan orang tua. Inilah yang menjadi kelebihan buku ‘kompas’ ini. Setelah dibahas panjang lebar disediakan contoh nyata kasus dan bagaimana menghadapinya. Satu kata untuk buku best-seller ini, praktis.

Sebagai penutup, saya tiba-tiba teringat slogan iklan minyak kesehatan di televisi, “buat anak kok coba-coba.” Dan saya tambahi, "masalah buat loh?" Hehehe.  Salam dan wallahu a’lam.

0 comments: