11 November 2014

8 Rahasia Media Sosial untuk Pembelajaran



8 Rahasia Media Sosial untuk Meningkatkan Pembelajaran Siswa

Anda tahu Facebook? Twitter? Dua media sosial inilah yang paling sering digunakan dan merupakan terbesar di antara sekian banyak media bersosialisasi saat ini. Di Indonesia dua media sosial ini paling digandrungi. Bahkan, menurut indonesiaterdidiktik.org, bersosialisasi lewat media sosial sudah dilakukan melalui ponsel cerdas (smartphone). BBC Indonesia menemukan durasi rata-rata masyarakat Indonesia menggunakannya sekitar 181 menit per hari. Wow! Bukankah ini merupakan peluang besar dalam memanfaatkannya untuk pendidikan?

Coba bayangkan, Anda seorang guru yang bisa mengantarkan siswa Anda sukses dalam pembelajaran. Anda disukai siswa-siswa Anda karena membantu mereka untuk memahami pelajaran melalui cara yang menurut mereka gaul dan sesuai dunia mereka. Mereka ingin selalu belajar dengan Anda dan memuji Anda dengan senyum kepuasan mereka. Apa yang Anda rasakan? Ada kepuasan tersendiri, bukan? Ada sedikit cerita berikut ini yang mungkin pernah Anda alami dengan siswa Anda.

“Assalamualaikum, Pak.” Sebuah pesan singkat masuk melalui jendela chatting (obrolan) sebuah media sosial. Melihat nama akun yang dipakai saya tahu kalau pengirimnya adalah salah satu siswa saya. Sebut saja namanya Ani (nama samaran).

“Waalaikum salam, Ani.” Jawaban balasan dari saya sepertinya memancing percakapan-percakapan remeh temeh berikutnya. Dari mulai bertanya khas remaja sampai pada percakapan yang mulai mengarah ke hal-hal yang sedikit pribadi (curhat). Saya pun awalnya ber-chatting hanya sebagai pengisi waktu saja saat itu. Tidak ada salahnya saya ber-chatting ria dengan murid. Toh, dia juga sedang libur sekolah sehingga tidak mengganggu jam belajarnya.
 
Percakapan dengan siswa di media sosial
“Saya bosan di rumah, Pak. Mau ngapain aja keliru terus kayaknya. Jadinya, ingin keluar terus.” Beberapa curhatan mulai diungkapkan Ani. Saya sebagai gurunya tentu menanggapi dan memberi arahan yang baik dan benar agar Ani tidak salah jalan. Setelah panjang lebar akhirnya percakapan disudahi dan masing-masing off dari bersosial media. 

Namun, tiba-tiba ketika hendak tidur saya masih teringat dengan curhatan si Ani. Ada rasa iba dan miris mengetahuinya. Kekagetan saya bukan hanya dari isi cerita dan curhatannya, namun dari keterbukaan Ani mengungkapkannya. Apalagi, di sekolah, sulit mendapatkan informasi sebebas itu dari para siswa. Mereka mau terbuka kalau pun ada hubungan yang intens dengan gurunya. Itu pun tidak semua diungkapkan dan tidak semua siswa bersedia. Mereka cenderung lebih nyaman bercerita kepada teman sebayanya. Betul, kan?

Dari kejadian itu saya seperti menemukan momen Aha! Sebuah cara praktis dan efektif untuk menunjang pembelajaran, yakni media sosial. Praktis dalam arti tidak terikat ruang dan waktu, efektif dalam arti apa yang saya inginkan sesuai seperti yang diharapkan. Karena saya ingin mengajarkan bagaimana memanfaatkan internet secara positif kepada siswa maka pilihan saya jatuh pada media sosial. Saya memang bukan guru BP/BK yang menangani masalah siswa, tapi setidaknya saya bisa menggunakan media sosial untuk pelajaran bahasa Inggris sebagai pelajaran yang saya pegang di sekolah.

Keinginan saya semakin kuat karena seorang pakar marketing dunia Hermawan Kartajaya, pernah menulis bahwa ada tiga komponen yang tidak boleh dilewatkan dalam memasarkan produk (ide), yakni woman (wanita), youth (anak muda), dan netizen (masyarakat yang sering menggunakan atau beraktifitas di dunia internet). Dua yang terakhir adalah peluang saya dalam memasarkan produk (baca: pelajaran) bagi siswa-siswa saya. Apalagi zaman sekarang para remaja sudah tidak asing lagi dengan yang namanya gadget dan internet, terutama di perkotaan. Harapannya, dengan mengadopsi ilmu marketing tersebut maka akan terjadi market share (pangsa pasar) yang dahsyat untuk keberhasilan belajar mengajar saya, sehingga konsumen (siswa) akan ketagihan untuk berbelanja (belajar) dengan saya karena merasa nyaman. Return of Investment (ROI, laba investasi) dari penggunaan media sosial pun dapat lebih besar hasilnya.

Yang menarik dari penggunaan media sosial ini adalah prinsip fun dalam proses pembelajarannya. Menurut para ahli, semisal Bobby DePorter dalam buku "Quantum Teaching", ketika siswa merasa enjoy maka akan terjadi yang namanya imparting knowledge (proses transfer ilmu pengetahuan). Ini yang kemudian disebut joyful learning. Berbeda jika siswa dalam keadaan takut, tertekan dan depresi. Kinerja saraf belajarnya tidak akan optimal jika dalam kondisi takut. Begitu ilmu psikologi saraf yang pernah saya baca. Dan, bukankah guru juga sebagai entertainer bagi siswanya?

Nah, pertanyaannya adalah, bagaimana Anda memanfaatkan kedua media sosial di atas sehingga bisa efektif dalam menunjang pembelajaran? Apa saja yang perlu Anda lakukan dalam prosesnya? Untuk itulah tulisan ini hadir. Anda sudah siap, kan? Mari kita mulai satu per satu.

1.   Update status

Salah satu hal penting agar tetap terjadi interaksi dengan siswa adalah konsisten dan rutin meng-update status yang ada hubungannya dengan pelajaran yang Anda asuh. Karena saya mengajar bahasa Inggris maka saya mengarahkan status saya agar terjadi pembelajaran, meskipun siswa saya tidak menyadari bahwa mereka sedang saya ajari. Seperti, saya menulis kalimat-kalimat sederhana berbahasa Inggris dan saya minta siswa mengartikannya ke dalam bahasa Indonesia lewat komentar. Demikian sebaliknya untuk status berbahasa Indonesia. Seperti yang terlihat di gambar ini. Saya hanya menambah dengan kalimat, "What's wrong with this picture? Do you know? Comment!" Maka, komentar akan membanjiri akun saya.

Mengamati kata dalam bahasa Inggris
Saya mengadopsi teknik ini dari para pebisnis online. Ini adalah teknik mereka dalam membangun ikatan emosional dengan konsumen dan memasarkan produk/ide secara halus lewat media sosial, yang istilah di kalangan mereka disebut soft selling. Tentu saja hasil akhirnya adalah terjadinya penjualan (closing) dan dapat diterima dengan baik oleh konsumen. Bukankah siswa Anda juga konsumen (ilmu) Anda?

2.    Learning by chatting

Mirip dengan poin 1, bedanya cara ini bersifat real time atau live. Seperti mengobrol secara langsung berhadap-hadapan, namun lewat layanan internet. Seringkali materi obrolan yang dibicarakan adalah hal yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran. Di situlah Anda bisa menggiring siswa agar mengarah ke topik pelajaran. Akan lebih baik jika Anda mengatur kesepakatan waktu pelaksanaan dan durasinya sehingga bisa dilakukan bersama-sama sebagaimana pelajaran di kelas. Ini mungkin yang kemudian disebut dengan istilah distance learning (pembelajaran jarak jauh).
Jika penjelasan lewat chatting  Anda rasa kurang memuaskan dan mereka sedikit bingung, Anda arahkan langsung ke suatu alamat website. Dari sana mereka bisa mendapat penjelasan dan pemahaman yang lebih mendalam. Zaman sekarang apa yang tidak tersedia di dunia maya. Juga bukankah salah satu peran guru adalah sebagai fasilitator?

3.   Kultwit (kuliah twitter)

Kultwit ini menggunakan media sosial yang bernama twitter. Hal yang bisa dilakukan adalah Anda mengambil beberapa poin penting pelajaran dan menuliskannya dalam beberapa kicauan (tweet) berurutan di akun Anda. Misalnya, urutkan menggunakan angka atau huruf abjad agar tema pelajaran runtut. Jika terdapat sub bahasan maka ditambah dengan 1a, 1b, 1c dan seterusnya. Dibuat berurutan karena memang ruang teksnya terbatas ketika meng-update tweet (hanya 140 karakter), sehingga pengguna dituntut cerdas dan efektif dalam memilih kata. Bukankah guru juga harus bisa menulis efektif?

4.   Kuis pembelajaran

Tujuan poin keempat ini hanya satu: motivasi. Seringkali dalam menyelesaikan tugas siswa tidak bergairah, kan? Nah, bila ada stimulus atau pancingan biasanya mereka akan bergerak. Dan karena sifatnya kuis maka tentu saja ada hadiah bagi yang mampu mengerjakannya. Variasi dari cara ini bisa dengan teka-teki atau pertanyaan kritis seperti, “kenapa langit berwarna biru (IPA)?”. Atau “siapa yang bisa menyatakan kalimat untuk meminta izin keluar kelas? Bahasa Inggris dong.” Atau juga “siapa nama ilmuwan yang menemukan angka nol?” dan sebagainya. Hadiahnya bergantung Anda dan bisa disesuaikan. Syaratnya tepati janji hadiah itu di sekolah. Ketika siswa mendapat hadiah maka itu berarti adalah pencapaian dan sebuah penghargaan. Ketika terjadi pencapaian mereka cenderung akan mengulangi karena merasa berhasil. Bukankah guru juga sebagai motivator?

5.   Tugas online

Cara ini sangat bermanfaat dalam menambah wawasan siswa Anda tentang suatu topik/tema pembelajaran. Biasanya saya akan mengarahkan ke alamat website, semisal, englisheasy.com, britishcouncil.com, dan sebagainya. Selain memahami pelajaran mereka juga akan memahami cara menggunakan e-mail, menambahkan lembar tugas melalui inbox facebook, belajar menentukan topik mana yang sesuai dengan tuntutan saya sebagai gurunya, dan, tentu saja, memanfaatkan internet secara sehat dan positif. Bukankah guru juga sebagai instruktur?

6.   Grup diskusi dan aktualisasi

Dengan mengembangkan grup dan media diskusi maka akan terjadi perluasan interaksi. Artinya, hubungan tidak hanya guru-siswa tapi sudah ada hubungan siswa-siswa, di mana saya sebagai penengahnya. Dari sana bisa dilemparkan tentang sebuah topik dan biarkan siswa yang menjelajah jawaban mereka sendiri dan saling beradu argumen. Bukankah guru juga sebagai moderator?

7.   Forum tanya jawab

Mirip dengan poin keenam, hanya saja di sini lebih mirip dengan ujian tulis. Artinya, Anda melempar pertanyaan dan siswa yang menjawab. Boleh siswa yang menjawabkan temannya, sehingga terjadi saling membantu dalam menjawab pertanyaan. Tujuannya agar ada keterikatan emosi antar siswa dan merangsang untuk berpikir. Untuk menghindari keluar dari pertanyaan-pertanyaan inti, karena media sosial terkadang “liar” isi komentarnya, maka Anda tetapkan aturan mainnya bagaimana.  Bukankah guru juga sebagai regulator kelas?

8.   Personal coach (pelatih pribadi)

Dari tanya jawab itulah akan ketahuan siswa yang kurang berperan atau kurang menonjol dalam pelajaran. Jika sudah demikian maka yang bisa saya lakukan adalah menjadi pelatih personalnya (personal coach), tetap lewat online. Hal ini karena karakteristik pelajaran bahasa Inggris memang perlu latihan (exercise) praktek. Dari sini pula saya dapat menentukan mana saja yang perlu dibenahi dan ditingkatkan pemahamannya dalam pelajaran. Bukankah guru juga sebagai evaluator (pengevaluasi) dan trainer (pelatih) siswanya?

Dengan memanfaatkan salah satu dari kedelapan cara di atas, kita sebenarnya bisa memanfaatkan gempuran teknologi yang tidak bisa dihindari. Dari pada berusaha menghindar lebih baik memanfaatkannya sebagai sarana mengungkit keberhasilan belajar siswa.

Meskipun tingkat efektifitasnya sangat besar namun memanfaatkan media sosial tetap ada kelemahan yang perlu disadari, yakni ikatan emosi. Sampai saat ini pun belum ada satu pun mesin digital yang bisa menjalin dan mengikat hubungan emosional sekuat hubungan langsung. Artinya, meskipun menggunakan media sosial jangan sampai interaksi langsung di dunia nyata menjadi berkurang. Media sosial harus dianggap sebagai media sekunder (kedua) setelah interaksi langsung sebagai media interaksi primer (utama).

Apakah Anda punya pengalaman atau pemikiran berseberangan? Saya yakin orang lain juga ingin mengetahuinya. Bagikan pengalaman atau ide cemerlang Anda di komentar dan terima kasih telah berkunjung di blog ini.

0 comments: