06 September 2019

Ini Strategi Mengasuh Anak Di Era Digital





"Adik, sudah jangan ke situ nanti rusak lho ya."
"Heh, diam dong. Orangtua ngomong kok menyela terus."
"Pokoknya nanti harus belajar. nanti Mama yang ngajarin."
"Ayah capek. Sana ke Mamamu."
"Aduuuuh. Kok main di tanah sih. Kotor jadinya, kan?"
"Awas jangan pegang-pegang handphone mama."

Ungkapan-ungkapan seperti di atas sering kita temui di kehidupan keluarga ketika menghadapi anak-anak. Percayalah, mereka akan semakin menjadi-jadi kalau dilarang. 

Bunda bisa stress kalau tidak dibumbui kesabaran. Sesekali menonton hiburan lewat handphone. Eh, Si kecil menyambar. Mau ikut main juga. 

Saya teringat kalimat dalam film Spiderman ini ketika diucapkan pamannya dengan mantap sambil memandang ke arah sang pahlawan manusia laba-laba:


"With great power comes great responsibility; seiring  kekuatan besar ada tanggung jawab besar"

Tapi saya ganti saja kutipan di atas menjadi:


"With great mom comes great kids; dibalik anak-anak hebat ada mama hebat."


Mendidik anak usia dini memerlukan perhatian ekstra dari orangtua. Terutama ibu. Apalagi di zaman teknologi saat ini. Rasanya tugas ibu jadi bertambah: mengawasi pola mereka saat bermain dengan perangkat digital. 

Melelahkan sekaligus menantang, bukan? Tapi kalau sukses maka akan dihasilkan generasi-generasi hebat dari ibu hebat. Di artikel ini kita akan membahas tentang pendidikan anak-anak dalam era kecanggihan digital dan bagaimana orangtua menyiasatinya.

Masa keemasan anak adalah fase terpenting. Masa-masa itu begitu menyenangkan, menggemaskan dan pasti akan dirindukan. Nanti ketika  anak-anak  sudah dewasa. Para ahli menyebut masa menggemaskan itu sebagai masa "Golden Age".

Sebuah masa yang sangat penting dan tidak akan pernah terulang lagi. Penting karena menentukan masa-masa selanjutnya. Tidak akan terulang karena ia terjadi sekali. Dalam seumur hidup. 

Golden age berawal dari usia kandungan 0 bulan sampai anak berusia kira-kira 8 tahun. Pada fase ini perkembangan otak anak sangat cepat dan akan terbentuk hingga 80%. 

Ibarat rumah atau bangunan, fase tersebut adalah fondasinya. Jika fondasi itu dibangun dengan kuat dan kukuh, menggunakan semen berkualitas, pasir dan batu pilihan, niscaya rumah tersebut akan kuat berdiri tegak. Meskipun bangunan itu berdiri di atas ratusan lantai. 

Fase tersebut mengharuskan orangtua dan guru agar memberikan perhatian yang serius. Baik pada faktor tumbuh kembang secara fisik maupun psikis pada anak usia dini.

Urusan pendidikan tidak bisa main-main. Ibarat uang, ia adalah investasi. Kita sedang berinvestasi. Namanya investasi manfaatnya baru dirasakan 10 hingga 50 tahun ke depan. Dan itu dimulai dari masa anak-anak sekarang sebagai fondasinya.


Ada budaya menarik. Ini nyata terjadi di Jepang. Di sana 99 persen wanita hamil memilih berhenti bekerja. Tujuannya agar bisa berkonsentrasi pada masa kehamilannya. Mereka akan kembali berkarier dan bekerja setelah anaknya menginjak usia delapan tahun ke atas. 

Setelah melewati masa golden age

Budaya tersebut menunjukkan bahwa masa kehamilan hingga usia emas (golden age) sangat penting bagi wanita Jepang. Para ibu di Jepang mementingkan pendidikan dan perhatian anak di fase usia ini. Tak heran jika negeri Sakura itu maju. Di balik ibu hebat lahirlah anak-anak kuat.

Tujuh tahun pertama anak-anak fokus melewati perkembangannya dengan menyenangkan. Mendapat pendidikan dan perhatian penuh dari orangtua. Baru anak akan tumbuh dengan percaya diri. Berkarakter. Tidak gampang digoyahkan. 

Tujuh tahun pertama tersebut akan mempengaruhi tujuh tahun berikutnya. Lalu tujuh tahun lagi sesudahnya. Sampai anak menginjak usia dewasa. Tiga periodisasi umum tersebut memiliki peran masing-masing. Tujuh tahun pertama adalah yang utama.

Itu juga-lah yang mendasari PAUD Apple Tree Pre-school BSD, Tangerang. Kombinasi antara perhatian orangtua dan pendidikan usia dini di luar rumah yang berkualitas maka besar kemungkinan akan menghasilkan generasi-generasi berkelas. 

Sebagai institusi yang memfokuskan diri pada masa emas anak-anak, Apple Tree Pre-school BSD ikut ambil bagian membibit generasi berkualitas dan memiliki berbagai keunggulan. 

Tengok saja kurikulumnya. Mengadopsi dari kurikulum Singapura yang dikenal sebagai negeri maju di kawasan Asia. Karena menggunakan kurikulum Singapura berarti penggunaan bahasa Inggris dan Mandarin sudah dikenal peserta didik sejak dini. Keuntungannya, anak akan menjadi seorang polyglot (menguasai/penutur banyak bahasa). Seseorang cenderung lebih cerdas kalau dia menguasai lebih dari dua bahasa disamping bahasa ibu.

Berbekal pengalaman selama 19 tahun dalam pendidikan anak usia dini Apple Tree Pre-school BSD memiliki visi mendorong kepercayaan diri dan kemandirian setiap siswa. Belasan tahun di dunia pendidikan anak usia dini itu tidak diragukan lagi dalam upaya membentuk perkembangan fisik yang solid. Tentu saja sisi intelektual, emosional dan sosial ikut berkembang dengan baik di dalamnya. 


Tahukah Anda?


  • Orang-orang jenius di Silicon Valley (pusat perkembangan teknologi digital dunia di Amerika Serikat) menjauhkan komputer dari keseharian anak-anak mereka.
  • Perancis melarang penggunaan ponsel di sekolah
  • Terpapar perangkat digital sejak dini bisa menyebabkan otak dan emosi anak berkembang tidak sempurna.
  • Ponsel cerdas (smartphone) bisa membuat anak sulit berkonsentrasi, dan bahkan, tidak mampu berpikir.
  • Bayi yang sering terpapar video berbahasa Inggris, kemampuan perkembangan bersosialisasi dan bahasanya akan terganggu. (buku Yee-Jin Shin, Mendidik Anak di Era Digital).
Sebagai orangtua, ada sebuah dilema ketika anak dihadapkan pada teknologi digital. Di satu sisi, anak-anak mau tidak mau harus terpapar teknologi. 

Di sisi lain, kita harus bijak memanfaatkannya. Tindakan mengisolasi sepenuhnya anak-anak dari peran teknologi juga bukan keputusan bijak. 

Munif Chatib, praktisi dan pakar pendidikan multiple intelligence (kecerdasan majemuk) dan penulis buku 'Orangtuanya Manusia' menulis:

"Memang sulit membendung media. Segala informasi ada di dunia media. Pengaruh negatif siap menerkam anak kita. Media menjadi ancaman berikutnya, bagi anak kita."

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 pernah merilis data bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta. Hingga sekarang kemungkinan jumlahnya terus bertambah. Kemudian, dalam kategori pelajar angkanya cukup mencengangkan, yakni 34 juta pengguna. 

Para pelajar inilah yang sebagian di antaranya adalah digital native. Sebuah generasi yang lahir dan menjadi penduduk asli di saat zaman digital berkembang begitu pesat mengiringi pertumbuhan dan perkembangannya. 

Anak-anak era kekinian, khususnya di perkotaan, begitu familiar dengan gawai. Mereka digitally connected dan begitu piawai menggunakannya, bahkan melebihi orangtuanya yang terkadang masih gagap karena masih tergolong generasi digital immigrant. Generasi pendatang di era digital sehingga masih melakukan penyesuaian-penyesuaian.

Pernahkah Anda mengalami ketika menggunakan ponsel atau perangkat digital dibantu oleh anak-anak? Mereka menuntun Anda sehingga anda baru mengerti. 

Atau, ada istilah-istilah tertentu yang kita tidak tahu tapi anak-anak sudah mengetahui lebih dulu?

Dengan demikian, para orangtua juga penting untuk ikut up to date sebagai langkah antisipasi, sehingga bisa mengiringi perkembangan para digital native tersebut. Adalah tidak lucu ketika orangtua "diperdaya" anak-anak melalui kecanggihan teknologi karena kealpaan diri terhadap perkembangannya.

Pada bagian lain, Yee-Jin Shin, psikiater Korea mengungkapkan, anak yang terlalu sering terpapar media digital pada tingkat tertentu akan mengalami fase yang ia sebut dengan istilah matang semu.

Secara fisik mereka normal dan baik-baik saja. Ukuran tubuhnya sesuai dengan perkembangan usia seharusnya. Tapi pada perkembangan emosi dan kejiwaannya bermasalah sebagai akibat dari penggunaan media digital secara tidak tepat dan benar.

Hal itu terjadi karena orangtua abai dan tidak mendampingi anak ketika menggunakan perangkat digital. 

Ciri-cirinya, menurut Shin, anak mengalami kesulitan bersosialisasi karena lebih fokus ke gawai (digital device), susah berkonsentrasi, suka membangkang, impulsif dan sulit diatur.

"Semakin sering anak terpapar (menggunakan) perangkat digital, semakin besar kemungkinan anak mengalami kesulitan dalam perkembangan emosi, daya konsentrasi, dan daya pikirnya...pada anak-anak yang masih dalam tahap pembentukan sirkuit otak, efek samping dari perangkat digital menjadi fatal sehingga menimbulkan cacat yang tidak bisa diperbaiki."

Yang paling parah mereka akan mengalami kecanduan (digital addicted). Pada tingkat tertentu sulit disembuhkan dan perlu penangan serius oleh psikiater. 





Di Korea, sebagai negara super power dalam perkembangan IT-nya, fenomena di atas menjadi pemandangan mengerikan. Kalau Anda memegang handphone merk Samsung itulah salah satu produk teknologinya. Dampak perangkat digital, jika tidak dihadapi dengan bijak, sama bahayanya dengan ancaman penyalahgunaan narkoba (drug abuse). 

Bahkan, pada tingkat tertentu, lebih parah dan sulit disembuhkan. Pengaruh penyalahgunaan perangkat digital (digital abuse) merongrong setiap detik di ruang-ruang pribadi yang tak terdeteksi secara kasat mata.

Fenomena demikian diamini oleh Rahma Sugihartati, Dosen Masyarakat Digital FISIP Unair, Surabaya. Ia mengungkapkan bahwa di era posmodern seperti sekarang ini, ancaman bahaya yang menyasar anak-anak bukan di luar rumah saat mereka bermain dan bersosialisasi secara nyata. Sebaliknya, bahaya itu justru kerap terjadi ketika anak masuk kamar dan menenggelamkan dirinya memainkan gawai dan berinternet (Jawa Pos, 6/8). 

Fakta menarik lainnya, menurut laporan New York Times 2011, para teknokrat dan jenius di Silicon Valley, Amerika Serikat, justru memilih menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang tidak menyediakan fasilitas komputer. 


Padahal, Silicon Valley adalah kiblat dari perkembangan teknologi digital. Ia adalah wilayah berkantornya raksasa-raksasa teknologi yang mengendalikan dunia, semisal Google, Hawlett-Packard (HP), Facebook, dan Apple. 

Di eropa, Perancis secara khusus mulai melarang penggunaan ponsel cerdas di sekolah. Pertanyaannya, haruskah menunggu fenomena Korea tersebut menjangkiti Indonesia untuk menyelamatkan generasi emas bangsa dari ancaman era digital?






Lalu, apakah bijak bila kemudian orang tua melakukan tindakan mengisolasi anak sepenuhnya dari pengaruh teknologi? Sebuah ungkapan menyatakan bahwa ada dua hal di dunia ini yang tidak bisa dilawan, yakni kematian dan teknologi. Kalau yang pertama lebih baik mempersiapkan. Sedangkan yang kedua, sebaiknya menyesuaikan agar tidak tumbang. Untuk menjembatani ketimpangan pengetahuan itu, tujuh prinsip dasar digital parenting dari Yee-Jin Shin ini bisa dipertimbangkan.

1. Mendahulukan “kapan” daripada “apa”


Titik tekan di sini bukan pada perangkat apa (jenis, harga, merk) yang akan diberikan pada anak, melainkan kapan waktu yang tepat mulai mengenalkan. Pada dasarnya, lebih lambat lebih baik asalkan dibarengi dengan digital parenting yang diterapkan pada mereka, terutama yang sudah terlanjur mengenal perangkat digital. Jadi, tidak membiarkan begitu saja dalam penggunaannya.

2. Kualitas lebih penting dari pada kuantitas

Ketika penggunaan perangkat digital ditentukan “waktu”-nya maka ada keteraturan yang diterapkan. Misalnya, memberi batasan kapan boleh bermain game dan tidak, bukan berapa lama bermainnya. Akan lebih berpengaruh jika membangun komunikasi tentang konten yang dimainkan, tidak pada durasinya. Jadi, sebaiknya diputuskan dengan tegas apa saja yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh anak lakukan.

3. Tentukan sanksi jika anak melanggar janjinya

Hal ini untuk menjadi warning bagi anak bahwa ada konsekwensi jika terjadi pelanggaran kesepakatan. Tentu saja orang tua harus tegas menerapkannya. Akan lebih baik jika didahului sebuah kesepakatan sebelum memberikan perangkat. Kalau perlu menuliskannya dan ditempel di dinding atau tempat-tempat yang mudah terlihat anak.

4. Jelaskan ditetapkannya peraturan

Agar ada kesadaran untuk melaksanakan peraturan, poin 3 sebaiknya diikuti dengan penjelasan alasan ditetapkannya peraturan. Dengan demikian anak bisa memahami secara baik melalui penjelasan sederhana. Misalnya, kamu bisa bodoh kalau terus bermain game.” Penjelasan masuk akal demikian selain membuat anak maklum, juga menghindari perlawanan karena ketidaktahuan anak alasan diterapkan aturan.

5. Barbagi pengalaman tentang perangkat digital dengan anak

Pengetahuan orang tua tentang digital menjadi bahan untuk mendekatkan dengan anak, sehingga ada komunikasi mengenai sesuatu yang disukai dan tidak disukai anak. Namun, buka berarti harus menguasai semua secara teknis. Cukup mengajaknya bicara tentang beberapa item saat bermain ponsel atau game menunjukkan bahwa Anda di mata anak tidak “ketinggalan” mengenai perangkat digital. Intinya, orang tua menjadi “teman” berbagi pengalaman agar anak merasa nyaman.

6. Libatkan seluruh anggota keluarga

Penerapan digital parenting akan sia-sia jika dalam keluarga tidak kompak. Untuk itu, ayah, ibu, kakak, adik harus mengikuti peraturan tanpa terkecuali. Jika pengasuhan dengan orang lain, mintalah dia untuk ikut berpartisipasi di dalamnya. Akan lebih bijak bila sampai menentukan satu hari dalam seminggu tanpa perangkat digital dan menggantinya dengan kegiatan lain, seperti membaca buku bersama, memasak, dan kegiatan positif lainnya.

7. Minta bantuan psikiater jika tidak bisa mengatasi

Pada kondisi tertentu, ada perbedaan mendasar antara “pemakaian berlebihan” dengan “kecanduan” (addicted). Pemakaian berlebihan masih bisa menoleransi diri saat dilakukan kontrol atau dilarang menggunakan perangkat digital. Sedangkan kecanduan (addicted) benar-benar hal yang berbeda. Otak hanya menginginkan satu hal saja dan tidak bisa berhenti. Untuk kasus kecanduan berat demikian orang tua harus meminta bantuan psikiater guna mendapat penanganan lebih lanjut secara tepat.

Kemajuan era digital bak pisau bermata dua. Ia bergantung pada siapa dan bagaimana menggunakannya. Orang tua adalah sosok paling ideal dalam mengajarkan hal-hal positif menggunakan perangkat digital di lingkungan keluarga sehingga anak-anak dapat mereguk manfaat kemajuan zaman. Meminjam rumus ABCD Ippho S., pakar otak kanan, mudah-mudahan bisa terwujud keluarga berkualitas. Di mana A (Ayah) dan B (Bunda) pasti memiliki D (Dampak) bagi anak-anaknya. Kalau diperhatikan, antara huruf B dan D, ada huruf C (Choice, pilihan). Di sini apakah sang AB akan memilih D yang baik atau buruk untuk anaknya, kendali huruf C ada pada orang tua. Tapi, kita tentu percaya bahwa kualitas itu bisa diciptakan. #Appletreebsd



0 comments: