Rambutnya keriting, perawakannya
tinggi besar, hidungnya mancung khas peranakan arab. Pembawaannya murah senyum.
Suatu hari, bocah ini merengek minta sekolah kepada ibunya karena sering melihat anak-anak yang berangkat sekolah yang melintas di depan rumahnya. Sang ibu bimbang. Anak itu belum cukup umur. Sebagai dosen ia tahu pentingnya pendidikan, namun ia tak ingin anaknya tercerabut dari dunia permainan. Ia mendiskusikannya dengan sang suami. Berkonsultasi ke psikolog juga dilakukan. Keputusannya, dia sekolah. “Tapi kalau mau saja. Kalau sedang tidak mau jangan dipaksa.” Kata si psikolog (hal. 10).
Kelak, anak kecil yang telah membuat
bimbang orang tuanya dan selalu dahaga akan pengetahuan ini membuat geger dunia
pendidikan di seantero nusantara. Kiprahnya membuat dunia pendidikan pompa
jantung. Ada yang tersenyum optimis. Ada yang sinis. Ada yang menghujat. Tak sedikit
yang mencibir. Banyak pula yang mengkritik. Anda tahu kenapa? Semua itu karena
dia menelurkan sebuah keputusan yang saat ini sedang hangat diperbincangkan. Sebuah
keputusan yang mengundang kontroversi, diskusi, polemik dan tarik ulur
pendapat, yakni keputusan soal penghentian (sementara) Kurikulum 2013. Siapa gerangan pria ini?
Dialah Anies Baswedan, seorang
menteri pendidikan yang memiliki slogan tenar “mendidik adalah tanggung jawab kaum
terdidik”. Bernama lengkap Anies Rasyid Baswedan, dia terlahir di Jogjakarta dari
lingkungan keluarga berpendidikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan.
Ayahnya, Rasyid Baswedan, adalah dekan Fakultas Ekonomi UGM pada era
pemerintahan Soeharto. Ibunya, perempuan tangguh yang menjadi teman curhatnya,
adalah dosen pada almamater yang sama.
Anies semasa sebelum menjabat
menteri pendidikan mampu menyedot perhatian sarjana-sarjana muda Indonesia yang
berprestasi untuk ikut menyingsingkan lengan baju, mengurai benang kusut pendidikan,
mengusap air mata, mengelus kepala dan membangun mimpi anak-anak SD di pelosok-pelosok
nusantara melaui misi mengajar selama satu tahun. Prinsipnya, “stop cursing the darkness, let’s light
candle more and more.” Dari pada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan
lilin sebanyak mungkin. Maka, lahirlah gagasan Gerakan Indonesia Mengajar (GIM).
Belum cukup GIM, dia menggagas ‘Kelas Inspirasi’, yakni gerakan mengajar satu
hari bagi para profesional yang sudah sukses menduduki peran dan jabatan
penting di bidangnya untuk ikut turun tangan menyemai mimpi anak-anak Indonesia
di ruang kubus yang bernama kelas.
Di samping gerakan yang digagasnya
ini, Anies pun memperoleh penghargaan-penghargaan berkelas dunia. Tahun 2008
dia diganjar penghargaan oleh Foreign
Policy, sebuah majalah yang memeringkat orang-orang berpengaruh sebagai
satu dari 100 tokoh intelektual dunia atas pemikiran-pemikirannya yang memukau
dan gerakan-gerakannya yang mengundang decak kagum. Dia satu-satunya dari
Indonesia, bahkan Asia. Sepasang tahun berikutnya, tepatnya tahun 2010 dia
kembali diimbali penghargaan bernama Nakasone Yasuhiro, Jepang. Di tahun yang
sama dia juga dinobatkan sebagai satu dari 500 muslim berpengaruh se-dunia oleh
Royal Islamic Strategic Center, Yordania.
Deretan-deretan prestasi gemilangnya
yang mengular membuat presiden Joko Widodo meliriknya dan mempercayakan kursi
Menteri Pendidikan di tubuh Kabinet Indonesia Hebat (KIH) saat ini. Dia termasuk
dari kalangan profesional, bukan politikus. Banyak yang bertanya-tanya. Siapa sebenarnya
sosok muda ini? Bagaimana latar belakang dan kisah hidup masa kecil pria yang pernah
dinobatkan sebagai rektor termuda (38 tahun) saat memimpin Universitas
Paramadina Jakarta, ini? Sepertti apa model pendidikannya oleh orang tuanya? Buku
biografi ‘Melunasi Janji Kemerdekaan’ menjadi jawaban tepat. Diakui Anies,
banyak penulis-penulis yang ingin menulis kisah hidupnya. Namun, buku ini yang
dia terima saat diajukan. Ketika penulisnya, Muhammad Husnil, menanyakan
alasannya sang menteri menjawab singkat, “Karena temanya pendidikan.” Jawabnya.
Ya. Sesederhana itu.
“Mengubah manusia Indonesia itu sesungguhnya
mengubah Indonesia”, tambahnya. “Dan itu bisa dilakukan melalui pendidikan,”
kalau ini kata saya. tapi tul kan, Mas Menteri? hehe. (note: Anies Baswedan di lingkungan
Kemendikbud sering dipanggil begitu).
0 comments:
Posting Komentar