(lanjutan dari bag. 1)
Sampsa Vourio, seorang guru di Torpparinmaki Comprehensive School, Finlandia, menjelaskan bahwa sistem pendidikan di negaranya dijalankan sangat demokratis. Penekanan belajar fokus pada proses, bukan pada hasil belajar. Remedial tidak dianggap sebagai kegagalan, tapi untuk perbaikan; sedangkan pekerjaan rumah (PR) dan ujian tak harus dikerjakan dengan sempurna – yang penting murid menunjukkan adanya usaha. Ujian justru dipandang sebagai penghancur mental siswa. Tidak ada sistem peringkat (ranking) sehingga siswa merasa percaya diri dan nyaman terhadap dirinya. Sistem peringkat dipandang hanya membuat guru terfokus pada murid terbaik saja, bukan kepada seluruh murid.
Sampsa Vourio, seorang guru di Torpparinmaki Comprehensive School, Finlandia, menjelaskan bahwa sistem pendidikan di negaranya dijalankan sangat demokratis. Penekanan belajar fokus pada proses, bukan pada hasil belajar. Remedial tidak dianggap sebagai kegagalan, tapi untuk perbaikan; sedangkan pekerjaan rumah (PR) dan ujian tak harus dikerjakan dengan sempurna – yang penting murid menunjukkan adanya usaha. Ujian justru dipandang sebagai penghancur mental siswa. Tidak ada sistem peringkat (ranking) sehingga siswa merasa percaya diri dan nyaman terhadap dirinya. Sistem peringkat dipandang hanya membuat guru terfokus pada murid terbaik saja, bukan kepada seluruh murid.
Kesimpulannya, Finlandia telah
sukses menggabungkan kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi,
dan komitmen dengan keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi.
*) Dikutip penuh dari buku best-seller Munif Chatib. Gurunya Manusia. Kaifa: Bandung. 2011. (hal. 26-27)
Siapa Munif Chatib?
Dia adalah
seorang konsultan pendidikan yang merintis gebrakan inovasi pendidikan
di Tanah Air yang kemudian kisah perjalanannya dia tuangkan ke dalam
tiga serial buku best-seller-nya: Sekolahnya Manusia, Gurunya
Manusia, dan Orang Tuanya Manusia. Semuanya diterbitkan oleh Kaifa,
Bandung. Berawal dari perkenalan dan interaksinya secara intens dengan
praktisi pembelajaran berbasis multiple intelligences asal
Amerika Serikat Bobbi DePorter, dia mulai memperkenalkan ke seantero
nusantara apa yang diusung oleh filosofi pendidikan sebagai ‘proses
memanusiakan manusia’. Pendidikan bukanlah mekanisme robotik yang kaku
dan selalu terotomasi. Selalu ada dinamika di dalamnya. Begitu kira-kira
yang diinginkan Munif. Bak gayung bersambut, antusiasme para stake-holder
pendidikan pun luar biasa, meskipun yang sinis pun tidak sedikit. Dari
pulau Jawa hingga ke Aceh dan Papua dia bersafari ‘menjajakan’ ide
pembaharuannya dalam dunia pendidikan Indonesia. “Munif Chatib adalah
seorang yang sangat commited dengan pengembangan pendidikan,” tulis Rektor Universitas Paramadina Jakarta Anies Baswedan, di bagian kata pengantar buku ini.
Munif
sendiri memang pernah bekerjasama dengan sebuah yayasan yang dirintis
Anies Baswedan, Yayasan Indonesia Mengajar, dalam menggembleng dan
memberikan training kepada calon-calon Pengajar Muda (PM)
sebelum diterjunkan ke berbagai pelosok nusantara. Dari sini pula dua
inovator pendidikan ini percaya bahwa memberikan kontribusi, sekecil apa
pun, dalam dunia pendidikan di Tanah Air adalah hal yang sangat
penting. Slogan “Stop cursing darkness, let’s light more and more candles”
ingin menegaskan bahwa, kegelapan itu bukan untuk diumpat dan disumpah
serapahi, tapi dicarikan lilin penerangnya. Slogan ini pun menjadi ruh
mereka dalam menyusun batu bata dan pilar pendidikan di Tanah Air. Jadi,
dari pada mengeluhkan keadaan, lebih bijak kalau fokus mencari cara
mengatasinya. Ittuh..hehe
0 comments:
Posting Komentar