Tak ada salahnya kita mengintip sejenak model pendidikan di
Finlandia. Saya mencoba merangkum informasi yang diperoleh dari hasil
video conference dengan Dewan Guru di Finlandia pada Januari hingga Mei
2008.
Di Finlandia, anggaran pendidikan
mendapat prioritas utama, meskipun bukan yang tertinggi di antara
negara-negara Eropa lainnya. Pada 2003, anggaran pendidikan Finlandia
mencapai €5,9 miliar (€1.100 per kapita). Leo Pahkin, Konselor
Pendidikan dari Badan Pendidikan Nasional Finlandia, terus memacu mutu
pendidikan di Finlandia yang dia pandang sebagai aset kemajuan suatu
bangsa. “Kami menanam investasi yang besar di bidang pendidikan dan
pelatihan agar bisa mencetak tenaga ahli dan terampil yang kelak
menghasilkan inovasi,” ujarnya.
Kegiatan sekolah di Finlandia
rata-rata hanya 30 jam per minggu, berarti hanya 6 jam per hari. Pelajar
akan masuk sekolah pukul 08.00 dan pulang pukul 13.00. Artinya, di sana
berlaku sekolah non-asrama, bukanlah full-day school. Ternyata, jumlah waktu untuk bertemu keluarga di rumah menjadi prioritas yang paling penting. Di Finlandia, interaksi keluarga dianggap sebagai proses belajar penting yang tidak akan dijumpai di sekolah. Bayangkan!
Tidaklah
mudah menjadi guru di Finlandia. Untuk dapat kuliah di jurusan
kependidikan saja, seseorang harus bersaing sangat ketat. Fakultas
Pendidikan dikatakan sebagai fakultas paling bergengsi dibandingkan
dengan fakultas lainnya. Rata-rata dari 7 orang peminat, hanya 1 orang
yang akan diterima di fakultas pendidikan. Tak heran, fakultas tersebut
begitu diminati karena gaji guru di sana rata-rata mencapai $2.311 per
bulan. Negara dan rakyat Finlandia menempatkan guru sebagai profesi terhormat dan
mereka yang menyandang profesi itu pun merasa mendapat sebuah prestise
dan kebanggan tersendiri. (sampai di sini saya ingat sebuah guyonan
klasik di negara kita, “Jangan cari menantu seorang guru untuk anak
perempuan kita, biasanya hidupnya akan susah! Gajinya kecil dan perlu
waktu sangat lama untuk bisa sukses, bahkan profesi guru itu dianggap
tidak punya jenjang karir. Kasihan nanti anak perempuan kita.” Pasti
guyonan itu tidak berlaku di Finlandia.)
Guru-guru di
Finlandia dibebaskan menyusun kurikulum dan silabus sesuai dengan visi
dan misi sekolah. Dengan kreatif mereka merancang buku teks yang aplikatif. Hampir semua guru menjadi penulis, minimal
menulis buku pelajaran yang mereka gunakan di kelas. Mereka juga
menggunakan strategi belajar mengajar yang beragam dengan memperhatikan multiple intelligences
(kecerdasan majemuk) semua siswa. Guru juga menentukan model evaluasi
dan penilaian aktifitas belajar mengajar. Dan akhirnya, gurulah yang
menjadi penilai terbaik para siswanya. Dampak dari
otonomi guru tersebut menjadikan guru-guru Finlandia sangat bertanggung
jawab terhadap keberhasilan pendidikan para siswanya. Bahkan, motto guru
di Finlandia, “kalau saya gagal dalam mengajar seorang siswa, itu
berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya.”
Kewibawaan
guru begitu tinggi di mata para siswanya. Mereka sangat menghindari
memberi kritik terhadap pekerjaan siswa, tetapi mereka mengajak para
siswa untuk membandingkan dengan nilai sebelumnya yang pernah diraih (konsep ipsative).
Para guru menghindari memvonis siswa dengan mengatakan “Kamu salah!”,
karena mereka menganggap sebagai hal biasa jika siswa melakukan
kesalahan, termasuk dalam mengerjakan soal-soal.
Proses belajar mengajar berjalan dua arah. Suasana
boleh dibilang jadi lebih cair, fleksibel dan menyenangkan. Dan,
efektif. Siswa di sana juga diarahkan mampu mengevaluasi secara mandiri
hasil belajar masing-masing. Hal itu diterapkan sejak dini/pra-TK.
Mereka didorong bekerja secara individu, tak peduli apa pun hasilnya.
“Ini akan membantu siswa untuk belajar bertanggung jawab atas pekerjaan
mereka sendiri,” kata Sundstrom, seorang kepala sekolah dasar di
Poikkilaakso, Finlandia.
To be continued ...
To be continued ...
0 comments:
Posting Komentar